Rabu, 24 Agustus 2016

Harga Rokok Naik Demi Siapa ?


Desas-desus soal kenaikan harga rokok memunculkan perdebatan di media sosial yang mempertanyakan, apakah yang menjadi isu adalah kesehatan rakyat atau pemasukan negara?
Meski pemerintah sudah menyatakan bahwa mereka masih mengkaji besaran kenaikan harga rokok dan dipastikan tidak akan mencapai Rp50 ribu, namun berita soal wacana kenaikan harga rokok masih terus dicari dan diperbincangkan di media sosial.
Kenaikan harga rokok mulai populer di media sosial sejak Sabtu (20/8) lalu dan mulai meningkat pada Senin (22/8). Isu soal kenaikan harga rokok sudah dicuitkan 81 ribu kali dalam jangka waktu tersebut.
Wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50.000 per bungkus berawal dari penelitian studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Studi tersebut mengkaji dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok dan cukai untuk mendanai jaminan kesehatan nasional (JKN) – yang biasa dikenal sebagai BPJS.
Berdasarkan survei terhadap 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp1 juta sampai di atas Rp20 juta, sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai JKN.

Insert : Gamis Katun Jepang Murah Berkualitas
Pin BB : 27e3c74e
WA :+6282242318804
FB : Gamis Katun Dan Pakaian Anak Ummu Nuriel
Ketika peserta ditanya berapa harga rokok maksimal yang sanggup dibeli, sebanyak 72% menyatakan akan berhenti merokok jika harga satu bungkus rokok di atas Rp50.000.
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi pada BBC Indonesia sudah mengatakan bahwa rencana pemerintah menaikkan harga rokok adalah untuk menambah pemasukan sekaligus melindungi kesehatan.
Pemerintah, menurut Heru, masih mengkaji kenaikan tarif cukai rokok demi memenuhi target penerimaan cukai pada RAPBN 2017 sebesar Rp149 triliun, namun sampai saat ini besaran kenaikannya belum ditetapkan.
"Pemerintah juga berkomitmen untuk secara gradual mengurangi konsumsi ini (rokok), pada akhirnya memang kita harus membuat masyarakat Indonesia itu sehat, tapi kalau dengan cara (kenaikan harga) yang sangat drastis, justru dikhawatirkan menimbulkan dampak lain," kata Heru.
Saat berita soal wacana kenaikan harga rokok ini dibagikan di halaman Facebook BBC Indonesia, ada beberapa pembaca yang mempertanyakan motivasi akan kemungkinan kenaikan harga tersebut.
Seperti Randi Christopher yang mengatakan, "Ternyata alasan demi kesehatan rakyat cuma omong kosong belaka, ujung2nya cuma pemerintah mau ngambil duit lebih banyak dari rakyatnya dengan berpura2 perhatian sama rakyat."
Pembaca lain, Boed Guchi juga mengatakan, "Betul, gue kate ape? Jadi betul kan harga rokok dinaikkan untuk nombok kekurangan anggaran RAPBN , bukan untuk keselamatan remaja dari bahaya rokok."
Sementara pembaca lain, Christian Andri, berkomentar, "Pemerintah sangat tdk patut menargetkan penerimaan cukai dari perokok! Kecanduan candu (yg dilegalkan) sdh jadi persoalan, ini mau ditambah persoalan harga tinggi rokok. Lebih baik kejar pengusaha pengemplang pajak/yg laporan pajaknya tdk sesuai kenyataan".
Pernyataan pembaca Facebook BBC Indonesia tersebut, menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta, sebagai hal yang wajar.
"Selama ini cukai rokok, larinya ke mana? Kan kita nggak pernah lihat. Kalau pemerintah tidak transparan, mana masyarakat percaya," ujarnya.
Menurutnya, seharusnya ada perbandingan yang jelas antara pemasukan yang diperoleh dari cukai rokok dengan biaya kesehatan yang ditimbulkan akibat rokok.
"Kita harus telaah betul, jika harga dinaikkan, komponen apa saja yang ada dalam kenaikan itu. Kita tanyakan dulu, jika harga naik, itu untuk (menambal) defisit APBN atau untuk defisit JKN (jaminan kesehatan nasional), itu dulu induknya," ujar Marius lagi.
Barulah dari situ, kata Marius, bisa ditentukan berapa besar komponen kenaikan harga yang wajar, dan akan dialokasikan ke sektor apa saja kenaikan harga tersebut.

Manfaat ganda

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua YLKI Tulus Abadi, menurutnya sebagian pemasukan yang diterima oleh sektor cukai dari rokok "seharusnya dikembalikan ke sektor-sektor yang menangani pengendalian dampak akibat rokok, yaitu sektor kesehatan, termasuk soal kampanye dampak rokok".
Jika hal ini dilakukan, maka konsumen akan melihat bahwa harga yang naik jelas fungsinya untuk melindungi mereka dari bahaya rokok.
Tulus juga mengatakan bahwa cukai memang memiliki manfaat ganda, selain pemasukan tapi juga memberi "pesan moral" agar konsumen mengurangi konsumsi barang yang dikenai cukai. "Pemasukan (cukai) itu hanya manfaat sampingan," ujarnya.
Semakin besar cukai, maka secara finansial semakin besar pula beban pengguna, dan ini menurut Tulus adalah hal yang positif.
Alasannya, menurut Tulus, cukai hanya dibebankan pada barang yang berdampak buruk bagi masyarakat sehingga pengenaan cukai adalah upaya untuk mendesain konsumsi.
"Tidak fair jika melihat bahwa dengan meningkatkan cukai maka artinya akan mengurangi daya beli, rokok itu tidak bisa dikaitkan dengan daya beli, itu kan bukan barang normal, seperti makanan, minuman, atau sembako, ekstremnya (dengan cukai barang tersebut) nggak usah dikonsumsi. Dengan cukai, artinya itu barang yang sah, tapi bukan barang biasa," kata Tulus.
SUMBER : BBC.COM

1 komentar:

Silahkan komentar dengan baik dan santun